Powered by Blogger.

Roman, Primadona

by - Saturday, July 05, 2008

Rating:★★★★
Category:Books
Genre: Romance
Author:Nano Riantiarno
Review Buku Primadona, Sebuah Roman

Buku ini saya dapatkan setelah mengikuti syuting acara Kabaret di MetroTv yang mendatangkan Teater Koma. Buku ini karya Nano Riantiarno, pendiri Teater Koma.

Derita Primadona

Bintang-bintang gemeletar
Menyerah pasrah di pangkuan
Cantik wajah sang rembulan
Lebih cantik aura primadona
Segala ada, semua dipunya
Bahkan dunia bertekuk lutut
di bawah telapak kakinya

Primadona, primadona
Sripanggung yang dipuji-puja

Ingin lari dari bayang diri
Memburu makna cinta suci
Kesetiaan malah dikhianati
Dan tiada yang sudi peduli
Tontonan di panggung fana
Impian berbuah impian pula
Duka menyayat jantung hati

Dunia opera tetap opera
Istana fantasi, gua sembunyi
Dari derita hidup sehari-hari
Nikmat maya candu pura-pura
Penyejuk ganas-ganas dunia
Tapi siapa sudi tahu nasibnya?
Siapa sudi tahu dan mencinta?

Primadona, primadona
Sripanggung yang dipuji-puja


Roman ini diawali di sebuah desa di kaki bukit Panendjo, Cheribon, pada sekitar tahun 1976. Penulis mendeskripsikan sekeliling dengan begitu detilnya. Ada seorang perempuan berusia 68 tahun. Cantik dan anggun. Seluruh rambut hampir memutih, tapi kulit wajahnya bersih. Hanya sedikit kerut merut. Bibirnya sehat. Hidung mungil. Mata cemerlang. Pipi masih penuh. Jika dia tertawa akan nampak deretan gigi yang rata dan putih. Utuh. Lesung pipit menghiasi kedua pipi. Tawanya membikin alam semesta bernyanyi memuji. Dandanannya rapih. Tak ada rias wajah, tapi aura tetap memancar. Dia tak memakai perhiasan emas berlian, tapi kecantikan tak berkurang. Wajah indah alami yang mampu menyaingi kecantikan alam senja Bukit Panenjo.
Lalu seorang lelaki tua keluar dari pintu kamar tidur. Lelaki itu berusia 75 tahun. Tubuh sehat, tinggi semampai. Jalan tidak bongkok dan suara masih lantang. Rambut dan kumisnya memutih. Tapi ketika bicara, deretan giginya nampak bersih.
Sang perempuan tua bernama Kedjora dan lelaki tua adalah Baling.

Kemudian cerita ditarik mundur ke zaman saat Kedjora masih berumur 17 tahun. Kedjora tidak berada di dalam kamar tidurnya lagi, tapi didalam kamar rias sebuah tobong milik group Opera Miss Ketjoeboeng di Pasar Gambir, Batavia, tahun 1925.

Auditorium tobong group Opera Miss Ketjoeboeng berukuran sekitar 10 x 20 meter dan bisa memuat 250 penonton. Tobong sekaligus menjadi “penginapan gratis” bagi anggota group. Hanya keluarga Miss Ketjoeboeng dan Rama Oembara yang menginap di Losmen. Miss Ketjoeboeng dan Rama Oembara adalah primadona group sehingga keduanya lebih diistimewakan. Hal semacam itu tidak aneh bagi kelompok opera yang sering berpentas keliling. Semuanya dikerjakan sendiri; mendirikan tobong, memanggungkan pertunjukan, membikin reclame dan menjual karcis. Sesungguhnya mereka adalah kelompok opera yang 'profesional'. Setiap rombongan mendapat gaji per minggu sesuai tugas dan kedudukannya. Petro menjadi kepala rombongan dan boss, sekaligus juga penulis lakon dan sutradara. Dia suami Miss Ketjoeboeng. Petro yang nama aslinya Alexeyev Petrovsky, masih ada keturunan Rusia.

Roman ini memiliki banyak lakon, ada sekitar 37 lakon, dengan lakon utama, Miss Kedjora atau Siti Kedjora, Miss Ketjoeboeng, Rama Oembara atau Paidjo, Baling atau Raden Loetan Adisastra, Petro atau Alexeyev Petrovsky dan Mr. Tio Jr. atau Tio Tek Hong.

Lakon andalan tobong Miss Ketjoeboeng adalah Poetri Tjina dan Djin Parzee. Tentu saja Miss Ketjoeboeng sebagai Poetri Tjina dan Rama Oembara sebagai Djin Parzee. Miss Ketjoeboeng berumur 30 tahun. Cantik dan matang. Penampilannya menarik dan sangat rapi. Seluruh tindakannya seolah diatur. Gaya seorang primadona tenar yang sadar tengah dikagumi banyak orang. Dia memang terkenal seantero Djawa. Tidak heran jika kelompoknya diberi merek sesuai dengan namanya group Opera Miss Ketjoeboeng.

Baling, saat ini masih berusia 24 tahun. Dia sangat mencintai Kedjora, tapi sayangnya Kedjora lebih mencintai Rama Oembara. Nama Asli Baling adalah Raden Loetan Adisastra. Dia pernah duduk 2 tahun di bangku MULO. Ayahnya asisten wedana sebuah daerah di Koeningan, Cheribon. Keluarga Loetan masih keturunan bangsawan trah Kraton Cheribon. Loetan jadi tumpuan harapan keluarga. Mulanya semua menduga, sesudah MULO, dia akan meneruskan ke AMS. Dan mungkin lanjut ke STOVIA, Sekolah Dokter Djawa di Batavia atau Sekolah Tinggi Pamong Praja. Tapi dugaan itu keliru. Loetan nekat keluar dari MULO dan lebih memilih jadi anak wayang kelompok Opera Miss Ketjoeboeng. Peran Loetan di group adalah sebagai badoet. Petro selalu memasang badoetan Loetan sebagai selingan adegan. Sebutan Baling-baling atau Baling berasal dari Rama Oembara. Salah satu keahlian Loetan adalah menggoyang pantat berputaran seperti Baling. Dan itu dilakukan dengan tingkah yang lucu. Penonton menyukainya. Sebutan itu dimulai sekitar 2 tahun yang lalu. Sejak itu Loetan lebih sering dipanggil Baling-baling atau disingkat Baling. Nama aslinya Loetan Adisastra, lama kelamaan dilupakan orang.

Rama Oembara asal Sidoardjo, Djawa Timoer. Meski hanya lulusan sekolah desa, bakatnya besar. Dia aktor alam. Kelebihannya seolah diperoleh sebagai anugrah dari langit. Given. Ayahnya, petani desa yang miskin. Ibunya seorang pembuat jamu. Dia masuk opera Miss Ketjoeboeng umur 20 tahun. Petro yang merekrut. Sang sutradara tertarik kepada Paidjo, pemuda ganteng yang sopan, penuh semangat dan jujur. Dia mengajari Paidjo cara bermain opera. Celakanya, Ketjoeboeng tergila-gila kepada Paidjo dan berhasil memacarinya. Petro tahu tapi diam saja. Dia gemar berpacaran dengan lelaki yang disukainya, baik di depan maupun di belakang punggung suami. Bahkan saat berpacaran dengan Paidjo pun, dia masih sempat menjalin hubungan dengan lelaki lain. Nama Rama Oembara berasal dari Petro. “Biar kamu seperti Rama, yang mengembara karena mencintai istrinya, Dewi Sinta”, ujar Petro ketika Paidjo menanyakan arti dari nama baru yang disandangnya. Oembara cepat melejit. Dua tahun kemudian, dia menjadi pujaan khalayak. Itu terjadi saat dia bermain sebagai Djin Parzee, lakon andalan Petro. Para penggemar tergila-gila dan memuja Oembara. Mereka bahkan menyebut Oembara sebagai Valentino van Sidoardjo. Sejak itu Oembara menjadi primadona kedua dalam kelompok. Primadona utama, tentu saja Miss Ketjoeboeng. Ketika Ketjoeboeng memutuskan hubungan, Oembara sempat goyah. Dia sangat kecewa dan nyaris putus asa. Lalu dia melarikan diri ke minuman keras dan perempuan. Banyak gadis dipacari, hanya untuk membuat Ketjoeboeng marah dan cemburu. Dia sering mempermainkan cinta. Banyak perempuan patah hati karenanya. Ketjoeboeng dan Oembara sebenarnya masih saling mencintai. Tapi berbagai hal telah membikin mereka justru saling membenci. Ketjoeboeng meneruskan kebiasaan berpacaran dengan lelaki yang dia suka. Oembara memendam rasa cemburu dan kebencian yang semakin dalam. Batin Rama Oembara sebetulnya rapuh. Dia makin tak punya sikap. Dan itu semua akibat ulah Ketjoeboeng. Rama perlahan berubah. Dia bukan lagi pemuda desa yang sopan dan jujur. Kini, dia primadona yang kesepian. Don juan yang tak tahu bagaimana cara mencintai. Ketika dia melihat Kedjora, perasaan cinta tumbuh kembali. Dia ingat ketika pertama kali bercintaan dengan Ketjoeboeng. Begitu lembut. Begitu saling mengasihi. Apakah Kedjora sudi menjadi kekasih?Oembara tak tahu.

Kedjora ikut Petro sejak usianya 10 tahun. Petro menganggap Kedjora sebagai anak, sedang Ketjoeboeng memperlakukan gadis itu sebagai baboe. Tapi Kedjora tak putus berterima kasih karena Petro sudah mengangkatnya dari comberan kehidupan. Dia mengabdi dengan hati yang tulus. Ayah Kedjora menyerahkan anak gadisnya dengan harapan Petro dan Ketjoeboeng sudi mengajari main opera. Sebetulnya, bukan itu maksud yang sebenarnya. Orang tua Kedjora punya anak sembilan. Hidup sangat keras dan sukar. Kemiskinan menyebabkan mereka tidak sanggup lagi mengurus anak. Lalu, anak-anak mereka pun satu demi satu 'dihibahkan' kepada orang lain. Mereka tak peduli anaknya jadi baboe atau apapun. Yang penting dikasih makan. Dan kalau mungkin disekolahkan.
“Siapa namanya?”, tanya Petro pada ayah Kedjora.
“Siti”.
“Siti? Siti saja? Tanya Petro heran.
“Ya tuan. Siti saja. Artinya tanah. Harapan saya, Siti bisa berguna seperti tanah. Bisa membawa berkah bagi manusia, seperti tanah.”
Petro terkesan. Mata gadis kecil itu bercahaya-cahaya. Kecantikan sudah terbayang. Dan mendadak sekan digerakkan oleh suatu dorongan ajaib, dia menerima gadis kecil itu tanpa berunding dengan istrinya lebih dulu. Perkara inilah yang belakangan selalu menjadi bahan pertengkaran. Ketjoeboeng curiga. Dia menganggap Petro tengah 'memeram' buah mengkal, yang ketika masak, kelak, akan dimangsanya. Padahal selain didorong oleh sesuatu yang ajaib, Petro hanya ingin membantu orang yang kesusahan. Toch, akhirnya dia memberi ayah Kedjora uang sekadarnya. Oleh Petro, Siti diberi nama tambahan, Kedjora.
“Mengapa nama saya Tuan tambah?Apa artinya?” tanya Siti ingin tahu.
“Kedjora, bintang yang paling bercahaya di timur. Dia terbit saat malam akan berubah menjadi pagi. Kedjora juga sering disebut Bintang Timoer. Dia dianggap sebagai 'pengawal sang fadjar'. Dia bintang yang mulia, karena selalu hadir mendahului matahari. Itulah kau. Mudah-mudahan kau seperti Kedjora. Saya berharap kau akan menjadi Kedjora. Kau memang Kedjora, karena matamu bercahaya-cahaya seperti bintang kedjora”. Sejak itu Siti disebut Siti Kedjora. Dengan tekun Petro mengajari Siti berbagai pengetahuan umum dan cara bermain opera. Dia juga mengajari Siti membaca, menulis, dan mengucap dalam bahasa Melayu Tinggi, Belanda, Inggris, dan sedikit Bahasa Rusia. Karena memang Petro masih ada keturunan Rusia Putih. Siti cerdas. Dia mampu mengikuti apapun yang diajarkan Petro. Kini, setelah 7 tahun, Kedjora mulai pintar bermain opera dan menguasai 3 bahasa dengan fasih. Itu sangat istimewa. Bahkan kepada Oembara, Petro hanya mengajarkan bahasa Belanda saja. Entah mengapa Petro sangat memperhatikan kemajuan Kedjora. Barangkali, ini yang juga menyebabkan Ketjoeboeng sangat cemburu. Siti Kedjora cantik, pintar, sopan dan nampaknya punya masa depan yang sangat bagus...sebagai Primadona!

Petro lulusan Sekolah Dagang Tinggi Batavia. Salah seorang sahabatnya satu kelas, Mr. Tio Jr. sekarang jadi kompanyon. Keduanya berasal dari Soerabaja. Dan dua sahabat itu sepakat mendirikan kelompok opera. Mr. Tio Jr. yang berasal dari keluarga kaya, bersedia menjadi penyandang dana utama. Petro yang bertugas mengurus bagian keseniannya. Petro tertarik kepada dunia opera karena terlanjur jatuh hati kepada Miss Ketjoeboeng. Waktu itu, Miss Ketjoeboeng masih bermain dalam kelompok ibunya, Stamboel Miss Tjempaka. Petro langsung menyatakan bergabung dan tekun mempelajari cara menulis opera, cara menyutradarai dan cara mengelola kelompok. Guru andal yang mangajari Petro adalah Wagiman Tanoebrata, maestro biola musik klasik itu, yang juga penulis dan sutradara kelompok. Wagiman Tanoebrata adalah ayah Miss Ketjoeboeng. Begitu menikahi Ketjoeboeng, Petro ikrar mendirikan group Opera sendiri. Ada kisah unik di balik persahabatan Petro dan Tio. Ternyata Mr. Tio Jr. pernah memacari Ketjoeboeng. Tapi hanya sebentar. Dan asmara mereka terjalin ketika Ketjoeboeng belum menikah. Petro tahu kisah itu, tapi cintanya kepada Ketjoeboeng tak bisa ditawar-tawar lagi. Dia tetap bertekad menikahi Ketjoeboeng. Petro bertubuh tinggi besar. Kekar. Kumis tipis, bibir tipis, hidung besar dan mata bulat berwarna coklat. Rambutnya hitam berombak. Penampilannya sederhana. Baju dan celananya seolah hanya itu-itu saja. Dia seperti tidak pernah berganti pakaian. Padahal dia punya beberapa setel pakaian yang sama, kemeja putih linen dan celana wool abu-abu. Sepatunya hitam. Wajah Petro mengekspresikan kebaikan hati. Dia selalu tulus membantu siapapun. Dia tekun dan tak gampang menyerah. Jika mempercayai orang, dia tak akan mudah diprovokasi untuk membenci. Petro adalah pemimpin dan guru. Tapi rumah tangga Petro ibarat api neraka dan surga sekaligus. Cinta Ketjoeboeng yang aneh, bagi Petro justru menerbitkan pengaruh ganda. Yang pertama, dia takut kepada istri. Penurut. Dan yang kedua, kerja kreatifnya sebagai penulis opera dan sutradara menjadi lebih tergugah. Kehidupan rumah tangga yang rapuh dan carut-marut itu bagi Petro justru sangat inspiratif. Petro produktif dalam menulis dan mengerjakan opera. Dia tahu kebiasaan Ketjoeboeng, tapi tidak berani menegur. Sebab, biasanya, begitu ditegur, Ketjoeboeng langsung mengingatkan masa lalu. “Kalau tidak ada ayah dan ibu saya, kau tidak akan menjadi seperti sekarang. Kau berutang budi kepada orang tua saya. Dari merekalah, semua pengetahuan opera kau peroleh. Mereka yang membuka pintu kariermu”. Kenyatan itu jadi dalih untuk menutupi kecurangan. Masa lalu Petro selalu jadi senjata Ketjoeboeng untuk menindas suami. Cemburunya sangat besar. Kadang keterlaluan. Petro dibikin tidak berkutik. Jika secara tak sengaja Petro melirik perempuan, Ketjoeboeng akan langsung menyemprot dengan kata-kata pedas. Sementara itu, Ketjoeboeng malah seenaknya menjalin berbagai skandal, sembunyi atau terang-terangan. Pernikahan sudah 10 tahun tapi mereka belum dikaruniai anak. Ketjoeboeng kini 30 dan Petro 39 tahun. Semua anggota kelompok menyayangi Petro yang penyabar dan penuh perhatian. Sebaliknya, Ketjoeboeng sering dianggap sebagai monster yang pendengki. Dan semua takut kepadanya.

Rama Oembara sudah semakin bosan memerankan lakon yang sama setiap harinya sebagai Djin Parzee, apalagi lawan mainnya, sang Poetri Tjina yang diperankan Miss Ketjoeboeng menurutnya, Miss Ketjoeboeng sudah tidak pantas lagi memerankan lakon itu karena lakon yang diperankannya adalah seorang gadis 17 tahun sedangkan Miss Ketjoeboeng sudah berusia 30 tahun. Oembara menginginkan pembaruan. Akhirnya dia merencanakan skenario pada suatu malam pertunjukkan yang mengakibatkan hancurnya lakon. Oembara memberontak. Dia menginginkan Kedjora yang jadi primadona bukan Miss Ketjoeboeng lagi. Namun Miss Ketjoeboeng tidak mau. Menurutnya, “Hanja ada satoe primadona njang laen tjoema embel-embel saja”. Kedjora semakin bersinar, sementara Miss Ketjoeboeng mulai luntur ketenarannya. Oembara membelot dan keluar dari group Opera Miss Ketjoeboeng. Dia pergi bersama Kadieroen dan Djoned, kacung2nya yang semula juga anggota group Opera Miss Ketjoeboeng. Kemudian mereka mendirikan group opera baru. Oembara masih gemar datag ke roemah pelesiran di Paal Merah, Batavia bagian selatan. Rumah Bordil yang paling terkenal di kawasan itu, juga paling besar adalah warung minum Tiga Ronggeng. Mereka memeliki boengaraja terkenal : Bariah, Roetinah dan Rogajah. Tiga ronggeng inilah yang menjadi langganan Rama Oembara.

Dengan segala cara Miss Ketjoeboeng berusaha menghadang langkah Kedjora yang semakin mantap menjadi bintang baru. Termasuk saat Kedjora tengah bersinar, Miss Ketjoeboeng menjalankan muslihat dengan menikahkan Kedjora dengan Baling. Pernikahan yang sama sekali tidak diinginkan Kedjora. Dia tidak mencintai Baling, walaupun Baling sangat mencintai Kedjora. Kedjora mencintai Rama Oembara. Namun karena Kedjora merasa berhutang budi pada tuan Petro dan Miss Ketjoeboeng, maka dia pasrah dinikahkan dengan Baling. Namun, ternyata pernikahan mereka hanya di luar saja. Di dalam, ternyata Kedjora dan Baling tidak pernah tidur sekamar. Mereka tidak pernah berhubungan suami istri walau status mereka adalah suami istri. Namun hal ini tidak ada seorang pun tahu kecuali mereka berdua.

Kemudian Miss Ketjoeboeng hamil sehingga tidak bisa pentas lagi. Dan Kedjora yang menggantikan posisinya. Kedjora semakin tenar seantero Djawa. Permainannya begitu memikat, juga kecantikannya. Hal ini yang membuat kecemburuan Miss Ketjoeboeng. Dia pun melancarkan muslihat lainnya. Kedjora terkena santet dan guna-guna. Semua orang mengira Miss Ketjoeboenglah yang melakukannya, karena Miss Ketjoeboeng cemburu dan iri pada Kedjora. Karena tidak tahan akan tekanan itu, Kedjora pun memutuskan meninggalkan group opera Miss Ketjoeboeng disaat group opera tersebut sedang naik daun. Kedjora dan Baling bergabung dengan group opera Rama Oembara, Gardanella. Dengan adanya dua primadona yang bersinar, Kedjora dan Rama Oembara, group opera Gardanella terus meningkat ketenarannya. Mereka pun bermain opera tidak hanya di dalam negeri tapi juga di luar negeri. Mr. Tio Jr. yang membiayai. Sepeninggal Kedjora, nama group Opera Miss Ketjoeboeng semakin tenggelam. Mr. Tio memutuskan untuk pindah juga membiayai Gardanella. Miss Ketjoeboeng yang punya banyak siasat buruk, menggugurkan kandungannya dengan minum minuman keras. Hal ini membuat Petro sangat sedih. Dia sangat menginginkan seorang anak. Ketjoeboeng berniat merebut status Primadona lagi sepeninggal Kedjora. Namun karena Miss Ketjoeboeng sudah tidak muda lagi, sinarnya sebagai Primadona semakin redup. Group Opera Miss Ketjoeboeng semakin lama semakin bangkrut. Anggota-anggotanya banyak yang meninggalkan group.
Kedjora pun menjadi rebutan dua grup opera yang terkenal pada masa itu. Tanpa ia sadari, semakin jauh ia masuk ke dalam intrik dan skandal terselubung di tengah gemuruh tepuk tangan serta decak kagum para penggemarnya.

Inilah kisah dari balik layar panggung.
Inilah kisah tentang Primadona!


wp@04072008

You May Also Like

0 comments