Powered by Blogger.

Freedom Writers

by - Monday, April 14, 2008

Rating:★★★★★
Category:Movies
Genre: Drama
REVIEW FILM FREEDOM WRITERS
SEBUAH FILM TENTANG TOLERANSI

Film ini dibintangi oleh Hillary Swank dan di sutradarai oleh Richard LeGravese. Film ini diangkat dari kisah nyata yang juga di bukukan dengan judul The Freedom Writers’s Diary.
Film ini berlatar tahun 1994 di Woodrow Wilson High School di Long Beach, Amerika Serikat. Seorang guru, Erin Gruwell yang pertama kali mengajar dan mendaftar sebagai guru bahasa inggris di Wilson High tersebut. Dia harus mengajar di kelas baru dimana murid-muridnya sangat beragam ras : Asia, Latin, White and Black. Anak-anak tersebut pun sebenarnya tidak menginginkan untuk bisa sekolah, namun karena kewajiban distrik disana akibat integrasi, mereka akhirnya mau ke sekolah. Sekolah Wilson tadinya sekolah yang sukses melahirkan murid-murid yang berprestasi sebelum akhirnya terjadinya kerusuhan antar ras di Amerika pada tahun 1992 tepatnya di Los Angeles. Kerusuhan Los Angeles (LA Riots) itu mengakibatkan kurang lebih 50 orang tewas dan kerugian US$ 1 Billion. Kerusuhan itu juga merupakan rentetan kejadian rasial dari Rodney King seorang black African-American yang berprofesi sebagai supir taksi yang mengalami kekerasan oleh polisi setempat (LAPD) yang berkulit putih. Komentar Rodney King dalam kerusuhan itu yang terkenal adalah “Can we just get along?”. Rentetan kerusuhan-kerusuhan rasial tersebut yang sampai saat itu masih menimbulkan permasalahan disana.
Kelas bahasa inggris tahun pertama di Wilson High tersebut berada di ruang 203. Murid-murid Erin Gruwell bukanlah murid biasa. Mereka di sebut murid yang tidak dapat diajar dan tidak beretika. Mereka adalah anak-anak yang tumbuh dari lingkungan yang penuh kekerasan. Mereka dengan rasnya masing-masing setiap harinya mesti bertahan hidup dan mempertahankan daerahnya masing-masing. Itu merupakan tantangan tersendiri bagi Erin Gruwell. Murid-muridnya ke sekolah bukan karena keinginan mereka sendiri namun pilihan yang terpaksa di pilih dari 2 pilihan yang mereka dapat, mau ke penjara atau pergi ke sekolah?
Di awal mengajar, Erin masih mengalami kesulitan dalam mengajar karena murid-muridnya sering berkelahi di kelas dan di sekolah juga sering terjadi kerusuhan antar geng. Murid-muridnya pun bertaruh, sampai seberapa lama guru mereka bisa bertahan mengajar di kelas itu.
Keadaan mulai berubah saat suatu hari dikelasnya beredar sebuah karikatur yang menggambarkan seorang black African-American yang memiliki mulut yang tebal. Gambar itu beredar di kelasnya yang pada akhirnya diketahui oleh Erin. Erin sangat marah saat itu dan membandingkan gambar karikatur itu dengan gambar karikatur yahudi dengan hidung besarnya yang beredar saat terjadi peristiwa Holocaust. Namun ternyata murid-muridnya tak satu pun yang mengetahui tentang apa itu Holocaust. Namun ketika ditanya apakah mereka pernah di tembak, hampir seluruh muridnya mengacungkan tangan. Akhirnya dari situ Erin mengubah caranya mengajar dengan mulai mendekati muridnya dan mengajarkan pada mereka mengenai toleransi. Demi murid-muridnya, Erin sampai rela bekerja di akhir pekan, Erin sampai memiliki 3 profesi selain menjadi guru demi mencari tambahan untuk mengajar murid-muridnya karena pihak sekolah tidak mendukung kreatifitas Erin dalam mengajar Suatu waktu Erin memberikan murid-muridnya buku harian. Erin meminta murid-muridnya untuk menulis setiap kejadian dalam hidup mereka setiap hari. Mereka bisa menulis tentang apa saja. Yang mereka sukai atau yang mereka benci. Mereka bisa menulis lagu, puisi, cerita atau apa saja, yang penting mereka harus menulis setiap hari. Tulisan itu tidak akan di nilai karena menurut Erin kebenaran itu tidak dapat dinilai karena apa yang mereka tulis adalah sebuah kebenaran. Dan jika murid-muridnya menginginkan tulisannya di baca oleh Erin, mereka dapat meninggalkan buku hariannya itu di sebuah lemari yang akan di buka saat pelajaran dan selesai kelas akan dikunci. Erin memastikan tidak akan ada yang bisa membaca tulisan mereka selain dirinya. Dan ternyata, seluruh muridnya, meninggalkan buku hariannya untuk bisa di baca Erin. Erin pun mulai membacanya satu persatu. Dan tulisan murid-muridnya tersebut membuat Erin terkejut karena ternyata murid-muridnya setiap harinya harus berlarian hidup melawan maut yang senantiasa mengintai mereka. Dari kecil mereka sudah terbiasa melihat dan mengalami kekerasan akibat perang rasial yang terjadi disekitar lingkungannya. Erin sangat terharu mengetahui betapa keras kehidupan murid-muridnya.
Suatu hari Erin pun mengajak murid-muridnya untuk bertemu dan berdialog dengan para korban Holocaust. Agar mereka bisa mengetahui betapa banyak orang lain yang juga mengalami kekerasan dalam hidupnya.
Erin juga membelikan setiap muridnya buku dari hasil pekerjaan sampingannya. Karena pihak sekolah juga tidak membiarkan Erin untuk meminjamkan buku-buku diperpustakaan sekolah kepada murid-muridnya karena pihak sekolah takut jika buku-buku itu rusak ditangan murid-murid Erin. Erin membelikan setiap muridnya buku The Diary of Anne Frank dan Zlata’s Diary : A Child’s Life in Sarajevo. Anne Frank seorang gadis remaja korban Holocaust yang menuliskan setiap kejadian dalam hidupnya dalam sebuah diary. Anne Frank dan keluarganya sampai mengungsi ke Amsterdam Belanda dari kejaran Nazi Jerman saat terjadi peristiwa pembantaian kelompok Yahudi di Eropa saat perang dunia II oleh Nazi Jerman. Begitupun Zlata yang juga harus sama berjibaku dengan kekerasan di sekelilingnya. Erin memberikan buku-buku itu pada murid-muridnya agar murid-muridnya bisa belajar bahwa ada juga orang lain di belahan bumi lain yang juga mengalami hal yang sama bahkan lebih kejam daripada yang dialami oleh murid-muridnya.
Suatu hari Erin juga membawa murid-muridnya mengunjungi Museum Toleransi. Disana murid-muridnya bisa belajar mengenai toleransi karena mereka hidup dengan orang yang beraneka ragam suku, agama dan juga ras. Museum Toleransi ini keren sekali. Pada saat masuk setiap orang akan diberikan sebuah foto anak kecil dan saat keluar dari museum, mereka akan mengetahui apakah anak tersebut selamat atau mati.
Suatu saat murid-murid Erin menginginkan untuk bisa menghadirkan Miep Gies, seorang wanita yang memberikan perlindungan kepada keluarga Anne Frank semasa perang dunia II dari kejaran Nazi Jerman. Miep Gies masih hidup dan tinggal di Amsterdam Belanda. Untuk mendatangkan Miep Gies dari Belanda ke Amerika, murid-muridnya mengumpulkan dana dengan membuat bazaar di sekolahnya. Akhirnya akibat usaha keras murid-muridnya, Miep Gies pun bisa datang ke Amerika. Sebelum mendatangkan Miep Gies, Erin telah menugaskan murid-muridnya untuk menulis surat ke Miep Gies setelah mereka selesai membaca buku The Diary of Anne Frank. Surat-surat dari murid-muridnya itupun telah dikirimkan Erin dan telah di baca oleh Miep Gies sebelum dia datang ke Amerika. Murid-muridnya akhirnya bisa bertemu langsung, berdialog dan sharing dengan wanita itu.
Apa yang dilakukan Erin sangatlah mengagumkan. Hampir seluruh waktu Erin curahkan untuk murid-muridnya. Namun sayang, karena hal tersebut, Erin terpaksa harus bercerai dari suaminya karena menurut suaminya, Erin lebih memperhatikan murid-muridnya dibandingkan suaminya.
Namun apapun yang terjadi, Erin tetap berusaha tegar. Erin tetap menginginkan yang terbaik bagi murid-muridnya. Murid-muridnya pun menginginkan untuk bisa terus diajar oleh Mrs. G (Mrs. Gruwell, red), panggilan murid-muridnya untuk Erin sampai selesai High School. Walaupun sempat mengalami kesulitan karena keinginan murid-muridnya itu ditentang oleh pihak sekolah karena Erin dianggap masih guru baru. Namun dengan perjuangan akhirnya, Erin bisa mengikuti mengajar murid-muridnya sampai selesai sekolah. Erin pun mengadakan proyek lagi. Murid-muridnya diminta untuk menuliskan diari mereka ke komputer untuk selanjutnya akan di jadikan buku dan diterbitkan. Dari Diary murid-murid ruang 203 itulah lahir buku The Freedom Writers’s Diary dan film Freedom Writers. Seluruh murid Erin bisa selesai High School dan juga melanjutkan ke Universitas. Mereka terus berhubungan sampai sekarang dan tetap mempertahankan kebersamaan, kekeluargaan dan toleransi mereka sewaktu didalam kelas high school yang beragam ras itu. Mereka –murid-murid Erin- menyebut diri mereka Freedom Writers. Bahwa dengan menulis mereka bisa merubah diri mereka sendiri, keluarga dan lingkungan mereka bahkan bisa merubah dunia. Bersama Erin mereka akhirnya membentuk sebuah yayasan bernama Freedom Writers Foundation. Yayasan itu bergerak untuk memberikan metode pembelajaran yang lebih baik di sekolah berdasarkan toleransi.
A great movie. A must seen movie. Banyak hal yang bisa dipetik dan dipelajari dari film ini terutama masalah toleransi.

www.freedomwriters.com
www.freedomwritersfoundation.org

wp@14042008
www.wahyuotree.multiply.com


You May Also Like

0 comments